Pertengahan tahun 2008, saya menikah. Saat itu umur saya 25 tahun dan suami 30 tahun. Boleh dibilang, umur segitu sudah termasuk usia matang cenderung ketuaan untuk ukuran gadis kampung seperti saya. Tapi saya tidak merasa tua, karena saat itu saya sedang bekerja di Hong Kong, dan banyak sekali teman yang seusia saya atau bahkan lebih juga belum menikah.
Sebenarnya setelah menikah, kami ingin segera memiliki momongan mengingat usia kami yang tak lagi muda. Tapi apalah daya, saat itu saya masih terikat kontrak kerja dengan majikan saya di Hong Kong. Dan dalam waktu dekat, ada kemungkinan suami juga akan segera berangkat ke Taiwan untuk bekerja disana. Sehingga, kami memutuskan untuk berpisah (lagi) setelah melakukan ijab qabul.
Rasanya sakit banget harus berpisah di saat kami lagi asyik-asyiknya merasakan jadi pengantin baru. Tapi lagi-lagi kami tidak punya pilihan. Jadi kami berusaha ikhlas, menjalani apa yang sudah menjadi pilihan kami. Sampai akhirnya kami bisa bertemu lagi 3,5 tahun kemudian. 11 Nopember 2011, kami bisa naik pesawat bareng pulang ke Indonesia.
Bahagia? Itu pasti. Karena kami bisa hidup bersama menjadi sepasang suami istri setelah sebelumnya menjalani Long Distance Relationship (LDR) selama 6,5 tahun, dilanjut Long Distance Marriage (LDM) selama 3,5 tahun. Meskipun kami saling mencintai sudah 11 tahun, tapi kami lewati dengan saling berjauhan. Jadi ketika bisa hidup bersama dalam satu atap, bahagianya tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. :)
Sampai akhirnya, sekitar 1 bulan kami hidup bersama, ada yang aneh dengan saya. Setiap mendengar suara orang di kamar mandi, saya muntah-muntah. Sekali, dua kali saya cuek dengan keanehan ini. Mungkin saya lagi masuk angin atau lagi kurang fit aja. Tapi kejadiannya kok berulang-ulang. Sayapun curiga, "Jangan-jangan saya hamil", begitu pikir saya.
Karena penasaran, kamipun membeli test pack ke apotik. "Testnya pagi aja ibu, biar lebih akurat", kata petugas apotiknya. Saat itu, saya benar-benar tidak sabar menunggu pagi datang. Rasanya malam begitu panjang dan pagi tak kunjung datang. Mungkin ini lebay, tapi itulah yang saya rasakan waktu itu.
Begitu bangun saya segera ke kamar mandi untuk melakukan test. Ketika alat saya celupkan, dengan cepat alat tersebut berubah warna. Dan dengan perlahan-lahan mulai muncul garis 1 disusul garis berikutnya. Ya, testpack tersebut muncul 2 garis, yang artinya saya positif hamil. Sayapun segera memberitahu suami tentang hal ini. Bahagia, sekaligus tidak percaya yang kami rasakan saat itu.
Kami memang menginginkan seorang anak, tapi kami tidak menyangka kalau Allah akan memberikan secepat ini. Waktu itu kami masih seneng-senengnya menikmati kebebasan, setelah sekian lama kerja di negeri orang. Kami belum mempunyai pekerjaan, dan untuk hidup sehari-hari kami hanya mengandalkan uang tabungan.
Tapi benar kata orang, setiap anak mempunyai rejekinya masing-masing. Tiba-tiba saja, ada seseorang yang menawarkan sebuah toko kepada kami. Setelah mikir-mikir, akhirnya kami membeli toko tersebut meskipun ada beberapa orang yang mengingatkan kalau siapa saja yang memiliki toko tersebut pasti kena halangan. Kami mengabaikan perkataan orang-orang, kami yakin niat baik akan berbuah baik.
Dan tak lama setelah kami membeli toko tersebut, saya mengalami masalah dengan kehamilan saya. Awalnya anyang-anyangan, seminggu kemudian terjadi pendarahan dan akhirnya 30 desember 2011 saya harus kehilangan bayi saya yang usianya baru 8 minggu.
Saya sangat syok waktu itu, sampai pingsan berkali-kali. Setiap mengingat bayi saya sudah tidak ada, saya menangis sejadi-jadinya. Saya menyalahkan suami, saya menyalahkan diri sendiri kenapa kurang hati-hati. Bahkan saya menyalahkan Allah, kenapa begitu cepat Allah mengambil calon buah hati kami.
Saya benar-benar tidak bisa berpikir secara waras saat itu. Meskipun semua keluarga memberi support tapi tetap saja sulit untuk mengikhlaskannya, tetap saja saya sedih kalau ingat calon buah hati kami sudah tidak ada.
Suami yang tidak tega melihat keadaan saya, akhirnya mengajak saya pergi ke Nganjuk, ke tempat guru ngajinya. Sepulangnya dari Nganjuk, mampir ke waduk bening Widas untuk ngademkan pikiran biar bisa move on dari apa yang sudah terjadi. Dan memang benar, sepulang dari sana saya merasa lebih fresh, lebih ikhlas, lebih medekatkan diri kepada Allah, dan lebih semangat untuk melanjutkan perjalanan hidup. :).
Merenung di Waduk Bening Widas |
Sebulan kemudian, tepatnya 8 februari 2012 kami memulai usaha dagang dengan memanfaatkan toko kecil yang kami beli saat saya masih hamil. Saat itulah, luka yang tadinya sudah tertutup rapi, tiba-tiba terkoyak kembali karena perkataan beberapa pembeli di toko kami.
"Tuh khan, sampean keguguran karena beli toko ini" atau "Ih, sampean kok berani sih beli toko ini. Lihat saja pemilik sebelumnya yang kena kanker, terus ada lagi sebelum sampean yang langsung kecelakaan, terus sampean langsung keguguran karena beli toko ini". Tak hanya sekali, tapi beberapa kali.
Sakit, marah, itulah yang saya rasakan waktu itu. Saya yang telah berusaha mati-matian untuk move on dari semua itu eh tiba-tiba ada orang yang mengingatkannya kembali. Yang lebih menyakitkan, orang itu menghubung-hubungkan kejadian itu dengan toko kami. Bukankah anak adalah hak Allah? Kalau Allah mengambilnya kembali, kita bisa apa?. Kenapa harus menyalahkan toko kami? Ah ya sudahlah.
Seiring berjalannya waktu, luka yang kembali mengangapun sembuh lagi dan lama-kelamaan orang mulai berhenti menyinggung soal toko yang katanya begini begitu. Alhamdulillah kami baik-baik saja, toko mulai banyak pelanggannya, ekonomi keluargapun sudah tidak bergantung pada tabungan hasil kerja di luar negeri lagi.
4 bulan setelah toko kami buka, Allah memberi gantinya, saya hamil lagi. Dan saat ini, anak kami sudah berumur 4 tahun 2 bulan. Tumbuh menjadi gadis kecil yang super aktif, cerdas dan semoga menjadi anak sholehah. Amin.
Alfi, gadis kecil penyemangat hidup kami.
Ah, andai Allah tidak mengambil calon buah hati kami secepat itu, pasti saya tidak bisa fokus memulai usaha toko kami. Dan tabunganpun pasti akan habis lebih cepat karena kami masih menjadi pengangguran.
Memang, setiap musibah pasti ada hikmahnya. Saya yang tadinya menyalahkan Allah karena terlalu cepat mengambil calon buah hati kami, jadi banyak-banyak bersyukur karena kejadian ini. Allah mengambil lagi bukan berati tak sayang kami, tapi karena Allah lebih tahu apa yang terbaik buat kami.
Postingan ini diikutkan dalam #GADianOnasis
8 Comments
Setuju mba setiap kejadian pasti ada hikmah di baliknya,,:D
ReplyDeleteAllah tahu apa yang terbaik bagi hambaNya yaa Mba, Alhamdulillah Alfi tumbuh menjadi anak yang sehat :)
ReplyDeleteSangat terharu membaca tulisan di atas sampai menetes air mata, emang Allah berkehendak lain..semoga bahagia selalu amiiin
ReplyDeleteAapapun yang terjadi, tetap harus di syukuri. Karena semua itu akan ada hikmahnya ya, Mba. Sebaik-baik seorang hamba punya rencana, rencana Allah tetap yang terbaik :)
ReplyDeleteSalam kenal ya :)
Setiap ujian itu pasti ada hikmahnya mbak. Dan yakin itu yang terbaik buat kita, meski rasanya begitu getir. Anak itu hak Allah. Dan rezeki juga Allah yang ngatur. :)
ReplyDeletemungkin belum rejekinya, pasti dibalik ujian ada kebahagian kan mbak. pasti nanti ada yang lebih baik lagi
ReplyDeleteMakanya kita tidak pernah tau akan masa depan y mba karena sebaik2nya cerita hanya cerita yang Alloh atur buat kita :)
ReplyDeleteNice informasi dan sangat terharu yang pernah merasakan ini..salam kenal sis
ReplyDeleteTerima kasih atas kunjungannya.